Rabu, 17 Oktober 2012

Festival Tanabata

Diposting oleh Tachika Tatiku di 08.06 0 komentar
TANABATA




Festival Tanabata (七夕) atau festival bintang adalah salah satu perayaan yang berkaitan dengan musim. Perayaan ini biasa dilakukan di Jepang, Tiongkok, dan juga Korea. Festival Tanabata di Jepang diselenggarakan setiap tanggal 7 Juli. 

Tanggal festival Tanabata dulunya mengikuti kalender lunisolar (sebuah kalender yang menggunakan fase bulan sebagai acuan utama namun juga menambahkan pergantian musim di dalam perhitungan tiap tahunnya) yang kira-kira sebulan lebih lambat daripada kalender gregorian (kalender yang sekarang banyak dipakai dunia barat). Sejak kalender Gregorian mulai digunakan di Jepang, perayaan Tanabata diadakan malam tanggal 7 juli, hari ke-7 bulan ke-7 kalender lunisolar, atau sebulan lebih lambat sekitar tanggal 8 agustus.

Aksara kanji yang digunakan untuk menulis Tanabata bisa dibaca sebagai shichiseki (七夕?, malam ke-7). Di zaman dulu, perayaan ini juga ditulis dengan aksara kanji yang berbeda, tapi tetap dibaca Tanabata (棚機?). Tradisi perayaan berasal dari Tiongkok yang diperkenalkan di Jepang pada zaman nara (salah satu zaman dalam pembagian periode sejarah jepang yang dimulai ketikak kaisar wanita Genmei memindahkan ibu kota kekaisaran ke Heijō-kyō/Nara pada tahun 710, berlangsung selama 84 tahun hingga kaisar Kanmu memindahkan ibu kota ke Heian-kyou pada tahun 794).

Pada perayaan Tanabata, orang jepang memiliki tradisi untuk menuliskan harapan-harapan pada secarik kertas kecil berwarna-warni, kemudian menggantungkannya di batang pohon bambu yang diberi nama "Sasa". Tradisi menggantungkan kertas harapan di pohon bambu 'Sasa' ini, berakhir ketika 'Obon Matsuri' (Festival Arwah) diselenggarakan yaitu sekitar tanggal 13-15 Agustus.

Diperkirakan, Tanabata merupakan campuran budaya Jepang Kuno untuk mendoakan arwah leluhur atas keberhasilan panen yang dicapai, dengan perayaan Qi Qiao Jie (Hari Valentin Cina) asal Tiongkok yang mendoakan kemahiran wanita dalam menenun.

Legenda asli Jepang Tanabatatsume yang mengisahkan seorang pelayan wanita (miko) bernama tanabatatsume yang harus menenun pakaian untuk Dewa yang sedang berada di tepi sungai dan menunggu di rumah sambil menenun, untuk dijadikan istri semalam agar terhindar dari bencana. Perayaan Qi Xi (Qi Qiao Jie) dihubungkan dengan legenda Tanabatatsume, dan nama perayaan diubah menjadi "Tanabata". Di zaman Nara, perayaan Tanabata dijadikan salah satu perayaan di istana kaisar yang berhubungan dengan musim. Namun, setelah perayaan Tanabata meluas ke kalangan rakyat biasa di zaman Edo, tema perayaan bergeser dari pekerjaan tenun menenun menjadi kepandaian anak perempuan dalam berbagai keterampilan sebagai persiapan sebelum menikah.

Dalam sejarah Tanabata ini, dikisahkan antara seorang Dewa Bintang dengan seorang putri cantik yang bernama 'Orihime'  (Putri Rajut) yang dikenal sebagai bintang Vega.

Setiap hari, Orihime merajut pakaian yang dipakai oleh Dewa, atau yang sring disebut dengan Tanahata. Sang Dewa cemas melihat putrinya, Orihime yang selalu bekerja keras merajut pakaian tiada henti. Akhirnya, sang Dewa memutuskan mencarikan teman untuk Orihime dengan tujuan untuk menghibur putrinya. Kemudian diperkenalkanlah Orihime kepada seorang penggembala sapi yang bernama Kengyuu, yang disebut sebagai Dewa Altair.

Akhirnya, keduanya merasa jatuh hati. Setiap hari mereka berusaha untuk bertemu hingga lupa terhadap tugas dan pekerjaan masing-masing.

Mengetahui hal tersebut, Dewa sangat marah dan berusaha memisahkan Orihime dan Kengyuu. Sang Dewa membawa Orihime (Putri Rajut) ke sebuah tempat yang dihalangi oleh sungai besar bernama Ama no Kawa (Sungai Surga - The Milky Way) agar tidak bisa bertemu dengan Kengyuu. Dipisahkan dari sang kekasih membuat Orihime bersedih dan menangis setiap hari.

Karena merasa kasihan pada putri Orihime yang terus bersedih, sang Dewa mengijinkan Orihime untuk bertemu dengan Kengyuu satu tahun sekali pada tanggal 7 Juli yang dipercaya sebagai tanggal keberuntungan.

Tetapi jika hujan turun pada tanggal tersebut air sungai Ama No Kawa akan meluap, sehingga sepasang kekasih tersebut tidak bisa bertemu. Agar hujan tidak turun pada tanggal yang telah dijanjikan, tanggal 6 Juli mereka berdoa kepada dewa bintang dengan menuliskan sajak berupa harapan diatas secarik kertas warna warni yang disebut 'Tanzaku' kemudian menggantungkannya di batang pohon bambu.

Berdasarkan cerita ini, membuat orang jepang selalu merayakan tradisi Tanabata (Festival bintang) setiap tgl 7 Juli. Perayaan ini mulai dikenal di Jepang sejak zaman Edo (1603-1867). Pada mulanya mereka hanya ikut mendoakan agar pada hari itu cuaca cerah sehingga Orihime dan Kengyuu bisa bertemu.

Namun pada saat ini, tidak hanya mendoakan agar Orihime dan Kengyuu dapat bertemu, melainkan juga menuliskan harapan-harapan mereka di atas secarik kertas berwarna warni dan menggantungkannya di batang pohon bambu yang disebut "sasa", agar doa mereka terkabul yang mengibaratkan bintang yang berwarna warni yaitu Vega dan Altair yang berada di galaksi bima sakti.

Pada saat perayaan Tanabata, biasanya dinyanyikan lagu:

Sasano wa sara sara   (Sasano* mengalir dengan lancar)
Nokiba ni yureru         (Ujungnya bergoyang goyang)
Ohoshisama kira kira  (Bintang berkelap kelip)
Kin gin sunago            (Bertaburan bagai emas perak)
Goshiki no tanzaku   (Berwarna warni harapan dan doa)
Watashi ga kaita       (Yang aku tulis)
Ohoshisama kira kira (Bintang berkelap kelip)
Sora kara miteru        (Dilihat dari langit)

*Sasano = Perahu yang terbuat dari lipatan daun bambu*


Referensi:
1. http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Tanabata_festival_in_Hiratsuka_03.jpg
2. http://rumahfahima.org/en/seputar-jepang/184-tanabata-festival-bintang
3. http://id.wikipedia.org/wiki/Tanabata

Sabtu, 14 Januari 2012

CERPEN

Diposting oleh Tachika Tatiku di 19.19 0 komentar
I LOVE YOU, DAD

“Jangan nangis terus Ra!” Bujuk Rosa, menenangkan Rara yang sedang manangis tersedu-sedu.
“Aku kangen sama mama, Ros.” Sahut Rara terbata-bata.
“Iya, aku ngerti. Kamu pasti kangen sama mama papamu. Tapi jangan kayak gini terus dong Ra. Kamu bisa pulang besok buat ketemu sama mama papamu kok.” Rosa berusaha menasihati Rara.
“Ros, aku Cuma kangen sama mama, bukan sama papa.” Ujar Rara ketus. Matanya yang sedang memelototi Rosa, menyiratkan kemarahan pada Rosa.
“Walau bagaimanapun juga, dia itu papa kamu, Rara.” Ucap Rosa sok bijak.
“Haha…” Rara tertawa sesinis mungkin. “Papa? Dia ninggalin kita-aku sama mama-gitu aja, itu masih di bilang papa? Papa macam apa itu Ros?” Amarah Rara semakin membludak, dan semakin susah untuk dikendalikan.
“Tapi sekarang kan sudah kemabli dan berkumpul sama kamu lagi Ra?”
Rara hanya diam. Dia sibuk dengan dirinya sendiri.
“Dia punya alasan yang…” Kalimat Rosa terputus.
“Apapun itu.” Sela Rara.
“Terserah kamu deh. Yang penting aku sudah kasih tahu kamu ya.” Rosa pasrah. Dia sudah tak sanggup menghadapi kelakuan temen kosnya yang super keras kepala seperti Rara itu.
Rosa meninggalkan Rara begitu saja, setelah terjadi insiden kecil di kamar tadi.
Rara terdiam membeku di dalam kamarnya. Mengingat kenangan-kenangan manis bersama papanya membuat hati Rara semakin sakit. Saat papa mengajari naik sepeda, saat papa mengajak jalan-jalan ke taman, saat papanya mengajak melihat bintang & bulan di langit.
“Pa, Rara pengen jadi bulan, biar bisa menyinari dunia saat malam. Biar nggak gelap lagi. Rara benci kegelapan.” Ucap Rara dengan begitu polos, menampakkan wajah anak kecilnya.
“Iya. Kalau Rara jadi bulan, papa jadi bintangnya. Coba lihat bintang itu.” Ismail-papa Rara-menunjuk kearah bintang yang paling dekat dengan bulan. “ Dua bintan itu, papa sama mama. Papa sama mama nemenin Rara biar nggak kesepian.” Ismail memeluk Rara erat-erat.
Kenangan-kenangan manis itu terasa menusuk hati Rara. Kini kenangan itu tak akan terulang lagi.
***
“Sayang, mau jalan-jalan sama papa nggak?” Tanya Ismail dengan wajah harap-harap cemas.
“Papa kok lihat Rara kayak gitu sih? Rara ini udah gede pa.” Jawab Rara Pe-De.
“Yah, walaupun udah gede, tapi nggak ada salahnya kan kalau jalan-jalan sama papa? Jarang lo, papa berbaik hati ngajakin kamu jalan-jalan kayak gini.” Ismail sedikit bercanda pada putri kesayangannya yang sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan anggun itu.
“Iya deh. Aku juga kangen sama papa.” Rara mengiyakan ajakan Ismail.
Mereka berdua pergi, tentu dengan jalan kaki.
“Kita mau kemana sih pa?”
“Nanti juga Rara bakal tahu. Pokoknya tempatnya baguuus sekali.” Ujar Ismail dengan menggebu-gebu.
“Haha. Papa lebay ah.” Rara tak kuat menahan tawa melihat papanya.
Mereka terus berjalan. Rara hanya mengikuti kemana arah langkah kaki Ismail akan melaju.Sampai tiba di tempat yang entah dimana, Rara pun tak tahu. dia hanya berusaha menebak apa yang sebenarnya ingin dilakukan ayahnya. dan secuil pun Rara tidak menemukan jawabannya.
"Ayah, ini tempat apa?" tanya Rara yang mulai tak sabar menanti jawaban dari pertanyaan yang sudah dipikirkannya sejak tadi.
"Ayo kita kesana!" ajaka Ismail tanpa memedulikan pertanyaan Rara dan itu tentu membuat Rara sangat kesal.
Rara hanya menuruti apa yang dikatakan ayahnya. Seberapa ingin yahunya dia, ayahnya tidak akan mengatakannya sebelum dia ingin mengatakannya sendiri.
"Oke." kata Rara setuju.
Rara kembali berjalan mengikuti ayahnya. bebrapa saat setelah ia melangkahkan kakinya, ia melihat pemandangan yang luar biasa. Dia merasa bahwa dia sedang berada di alam mimpi. sungguh menakjubkan.
"Ayah, indah sekali." kata Rara takjub. Tak sanggup berkata lain selain kata takjub yang tiba-tiba menderanya.
"Iya sayang. Sangat indah. Dulu, ayah berjanji, ayah akan mengajak kamu ke suatu tempat yang belum pernah kamu jumpai dimana pun. Dan ayah juga berjanji tidak akan memberitahukannya sebelum tiba waktunya. Dan sekarang sudah tiba saatnya ayah memberitahukannya kepadamu. Disinilah tempatnya sayang. Dulu, nenek mengajak ayah kesini. Juga dengan cara yang sama dengan yang ayah lakukan seperti saat ini."
"Ayah, terima kasih. Tapi, kenapa ayah sekarang mengajakku? Kenapa tiba-tiba mau mengajakku kesini?" tanya Rara heran. Mulai menyadari bahwa ada suatu kejanggalan. Meski Rara masih kecil, pikirannya sudah seperti orang dewasa. Jika ada sesuatu yang aneh, dia akan cepat menyadarinnya.
"Karena ini adalah saat yang tepat Rara."
"Kenapa saat yang tepatnya sekarang?" Rara terus bertanya. Selama dia belum mengerti maksudnya, maka dia juga akan terus bertanya sampai dia mengerti maksudnya. Dan itulah yang bisa membuat Rara tumbuh menjadi anak yang cerdas, juga pandai.
"Nanti juga kamu akan tahju seniri Rara. Yang penting sekarang ayah sudah menepati janji ayah. Dan, ada satu lagi, kamu mau berjanji pada ayah?"
"Berjanji apa?"
"Kamu harus berjanji pada ayah kalau kamu akan tumbuh menjadi gadis yang kuat. Apapaun yang terjadi kamu harus kuat. Kamu juga harus bisa menjaga diri dengan baik ya. Rara mau kan berjanji pada ayah?"
"Tentu ayah. aku pasti akan jadi kuat, juga bisa menjadi seperti ayah. Ayah adalah ayah yang paling baik sedunia."
"Rara, ayah sayang Rara."
"Ayah, Rara sayang ayah."
Itulah percakapan terkahir yang Rara lakukan dengan ayahnya. Kenangan terakhir Rara bersama ayahnya sebelum ayahnya pergi darinya. Pergi untuk selama-lamanya.

Sabtu, 27 Agustus 2011

HADIAH TERINDAH

Diposting oleh Tachika Tatiku di 01.17 0 komentar
“Woi, bengong aja.” Sergap Dhea mengagetkanku yang setengah melamun melihat suasana sekolahku tercinta.
“Apaan sih loe? Siapa juga yang lagi bengong. Orang lagi lihat anak-anak yang lagi asyik main kok.” Timpalku, mengelak dari omongan Dhea agar tak curiga dengan sikapku.
“Udahlah Rhe. Nggak usah bohong. Gue tahu kok loe lagi lihat apa. Tuh, dia kan?” tukas Dhea dan menunjuk kearah seorang cowok yang memang aku lihat tadi.
“Idih, sok tahu loh. Siapa juga yang lagi lihat dia. Gue tuh lagi lihat anak-anak.” Sungutku.
“Andrhea sayang, Gue tuh udah kenal lama sama loe. Pikiran loe udah ke baca sama gue. Gue tahu apa yang ada di pikiran loe.”
“Kimia kan? Selama ini yang gue pikirin kan pelajaran kimia. Gara-gara sulitnya minta ampun.” sela ku.
“Udah deh, serius nih.” Dhea ngambek.
“Iya, iya.”
“Loe suka sama dia kan? Ngaku aja deh. Loe suka sama Kak Bian anak XI IPA 2 kan?” sanggah Dhea. Justru dia memberikan informasi tentang kak Bian kepadaku. Kalau gini caranya aku nggak bisa mengelak lagi. Aku hanya bisa mengakui kalau aku memang menyukainya.
“Iya deh. Gue ngaku. Loe tahu darimana kalau dia itu Kak Bian anak XI IPA 2?’ Ujarku.
“Gue tuh banyak temen. Gue sering keluar. Nggak kayak loe yang cuma ngedekem aja di kelas. Udah. Masuk yuk, udah bel nih!” Dhea mengajakku masuk ke kelas karena baru saja bel berbunyi.
Aku dan Dhea segera masuk ke kelas. Pak Marky, guru matematikaku sudah OTW menuju kelasku.

***

“Sejak kapan Rhe loe suka sama Kak Bian? Akhir-akhir ini, gue juga sering lihat loe melamun. Ada masalah apa?” Hardik Dhea yang tengah berdiri di depan jendela kamarku sambil memandang indahnya sunset.
“Sejak pertama kali gue ketemu dia saat MOS. Dulunya gue fine-fine aja, karena gue rasa, ini adalah hal yang wajar dialami anak remaja seusia kita. Tapi lama-lama gue ngerasa aneh. Akhir-akhir ini gue juga sering melamun mikirin dia. Kayaknya gue udah beneran suka sama dia. Gue harus gimana donk Dhe?” Lolongku, menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padaku dan meminta pendapatnya.
“Udah lama banget ya. Dari kita MOS sampai mau naik ke kelas XI. Betah amat loe. Gini aja, gue akan bantu loe. Gue punya kenalan anak kelas XI IPA 2 juga. Ntar gue minta tolong sama dia buat ngenalin loe ke Kak Bian. Jadi loe bisa deket sama dia deh.” Dhea mencoba menghibur dan membantuku.
“Makasih ya Dhe. Loe emang sahabat terbaik gue. Gue nggak tahu kalau nggak ada loe. Makasih banget ya Dhe.” Aku mengucapkan terima kasih pada Dhea yang udah baik banget sama aku.
“Ya udah. Gue pulang dulu ya. Udah sore nih.” Dhea berpamitan padaku.
“Iya. Hati-hati Dhe.”

***

“Hai Rhe. Nih, gue udah dapet nomornya Kak Bian. Terserah mau loe apain.” Dhea datang dengan penuh semangat, membarikan info baru untukku.
“Baru dateng loe?” ucapku lirih.
“Loe kenapa kok lemes gitu?” Tanya Dhea, heran melihat sikapku.
“Nggak tahu. Gue ngerasa nggak enak badan.” Jawabku.
“Ya udah. Gue anterin ke UKS ya.” Tawar Dhea.
“Nggak lah. Gue disini aja. Nggak perlu ke UKS segala. Ntar malah ketinggalan pelajaran. Bentar lagi kan ujian kenaikan.” Aku menolak dengan halus tawaran Dhea.
“Ok. Terserah loe deh.” Pasrahnya.
“Udah, duduk sana. Pak Imam udah dateng tuh. Ntar kena semprot lagi deh loe.” Ujarku memperingatkan Dhea.
Aku mengikuti kegiatan belajar seperti biasa. Namun sedikit terganggu oleh rasa malas dan pusing yang mendadak muncul. Aku juga merasa hari ini lebih lama dari hari biasanya. Waktu berjalan sangat lambat.
Sepulang sekolah, Dhea menahanku untuk tidak pulang terlebih dahulu. Katanya ada kejutan. Tapi aku tak tahu kejutan apa yang akan aku peroleh. Seingatku, hari ini bukan hari ulang tahun atau hari istimewa untukku. Kejutan apa ya? Ah, masa bodo. Semoga aja kejutan yang bisa mebuatku happy.
Aku duduk di depan ruang guru menunggu Dhea. Katanya dia mau ke toilet sebentar. Yeah, siapa tahu ada keberuntungan datang menghampiriku, dengan menghadirkan Mr. R alias Kak Bian disini.
Tapi, sudah 30 menit aku menunggu, Dhea tak kunjung datang. Apakah dia lupa? Masak baru sebentar aja udah lupa sama janjinya sih. Aku harus sabar, yeah harus positive thinking. Kuputuskan untuk menunggunya 5 menit lagi. Siapa tahu dia ada sedikit problem yang nggak aku ketahui.
Lima menit kemudian, dia tak datang-datang juga. Lebih baik aku pulang saja. Mungkin Dhea memang lupa dan pulang lebih dulu. Namun saat aku bangkit dari kursi, aku merasa HPku bergetar. Ternyata pesan dari Dhea.

Rhe, kmana aj siy lo? Gw ud lma nungguin lo d dpan ruang OSIS. Buruan ksini. Gw bru2, mau plang. . .

Apa??? Aku tersentak kaget tatkala selesai membaca pesan dari Dhea. Kenapa baru ngomong sih? Kenapa nggak dari tadi aja. Tahu gini aku langsung ke depan ruang OSIS.
“Hmm, sampe juga. Tapi mana ya si Dhea? Katanya nunggu disini.” Kataku pelan sambil mencari-cari Dhea. Tapi aku tak melihat batang hidungnya disini. Bahkan tak seorangpun ada disini.
Mungkin Dhea udah pulang, gara-gara aku lama banget datengnya. Pikirku. Lebih baik pulang aja deh. Aku berjalan menuju gerbang sekolah sambil berulang kali berbalik ke belakang. Berharap Dhea masih ada di belakangku. Namun semuanya sia-sia. Mungkin Dhea benar-benar sudah pulang.
Tiba-tiba aku tertabrak oleh seseorang sebelum aku sempat menghindar saat aku berbalik dan melanjutkan jalanku. Aku terjatuh di depannya. Dia mengulurkan tangannya, berniat membantuku. Aku pun menerima uluran tangannya dan mengucapkan terima kasih.
Aku terkejut saat melihatnya. “Haa? Kak Bian?” teriakku dalam hati. Namun kucoba untuk bersikap seperti biasa.
“Kamu nggak papa kan Rhe?” tanyanya padaku.
What??? Dia tahu namaku. Apa aku ini lagi mimpi? Oh Tuhan, jika memang benar aku hanya bermimpi, tolong jangan bangunkan aku dari mimpi indah ini. Biarkan aku selamanya ada di dunia mimpi, asalkan selalu bersamanya.
Namun, tatapan matanya dan senyumnya yang begitu manis, menyadarkanku dan mengembalikanku ke dunia nyata. “Iya, eh, nggak. Nggak papa maksudnya.” Kataku gugup. Aku terlalu bahagia.
“Ya udah, kalau gitu aku pulang duluan ya.” Kak Bian mengucapkan kata perpisahan padaku.
“I, iya.” Aku gugup menjawabnya. Haa??? Mimpi apa aku semalam. Bisa ketemu sekaligus ngomong langsung sama dia. Apalagi dia tahu namaku. Hmm, momen paling berharga seumur hidup.
Aku terus memperhatikannya yang berjalan semakin manjauh. Aku pun segera berjalan pulang karena hari semakin sore.

***

“Hai Dhe, Loe tahu nggak kemaren gue ketemu siapa? Pasti loe nggak bakalan percaya. Gue ketemu sama Kak Bian. Dan dia tahu nama gue. Loe kemana aja sih kemaren?” Aku mengagetkan Dhea hingga membuatnya terkesiap. Aku langsung nyerocos tanpa jeda sebelum dia sempat menjawab semua pertanyaanku.
“Iya. Selamat ya.” Jawabnya singkat.
“Loe kok nggak semangat gitu? Loe sakit ya?” tanyaku pada Dhea yang benar-benar terlihat lesu.
“Gue nggak apa-apa kok.” Ujarnya singkat.
“Ya udah deh, gue ke toilet dulu ya.” Aku menghentikan pembicaraanku tanpa banyak tanya dengan perubahan sikap Dhea meski aku masih ingin tahu alasannya.
Aku merasa ada yang aneh dengan perubahan sikap Dhea. Kayaknya ada sesuatu yang disembunyikan Dhea dari aku.
“Ah bodo amat. Mungkin dia belum siap cerita ke gue.” Pikirku.
Bel pulang sudah berdenting. Hanya aku dan Dhea yang tersisa di kelas.
“Rhe, duluan ya.” Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku.
“Yo.” Jawabku singkat.
Selesai membereskan semua bukuku aku segera keluar.
Saat aku sedang asyik melihat layar HPku, tak sengaja aku melihat Dhea yang sedang asyik mengobrol dengan seseorang di depan XI IPA 2. Kupandangi baik-baik orang itu.
Astaga? Ternyata Kak Bian. Ngapain Dhea ngobrol asyik banget sama Kak Bian? Ada hubungan apa antara mereka berdua. Apakah Dhea juga menyukai Kak Bian? Tapi, nggak mungkin Dhea menghianati sahabatnya sendiri. Atau jangan-jangan Kak Bian yang menyukai Dhea? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul di benakku, meski aku sudah berusaha membuangnya jauh-jauh.
Sejak saat itu, hubunganku dengan Dhea semakin renggang. Aku jadi semakin jarang berbicara dengannya. Jarang berkomunikasi. Kami sudah seperti putus hubungan. Aku tak berani menanyakannya pada Dhea. Kelihatannya dia juga semakin sibuk dengan Kak Bian hingga tak ada waktu untuk kita bersama-sama. Kami jadi semakin jauh. Sampai akhirnya, kukumpulkan nyaliku, kubulatkan tekadku untuk menanyakannya pada Dhea.
“”Dhe, loe ada hubungan apa sama Kak Bian? Loe juga suka sama dia ya?” dua pertanyaan itu terlontar dengan sendirinya dari mulutku tanpa bisa kukendalikan.
“Heh, Rhe. Asal loe tahu ya, gue tuh nggak mungkin pagar makan tanaman. Nggak mungkin juga gue temen makan temen. Nggak kayak loe yang berani nusuk gue dari belakang.” Ujar Dhea marah-marah.
“Apa sih maksud loe?” Aku tak mengerti dengan ucapan Dhea. Apa maksudnya dia bilang gue nusuk dia dari belakang.
“Udah deh, nggak usah muna. Gue udah tahu semuanya. Dan sekarang gue nggak mau temenan lagi sama orang pembohong yang bisanya cuma nusuk sahabatnya sendiri dari belakang kayak loe.” Hardik Dhea. Dia pergi meninggalkanku.
Aku terdiam dengan keterbingungan yang tak kunjung kutemukan jawabannya. Semuanya jadi semakin kacau. Dhea menjauhiku. Begitupun dengan Kak Bian yang semakin dekat dengan Dhea.
Sudah hampir satu bulan aku berdiam-diaman dengan Dhea. Bertemu atau berpapasan denganku sekalipun, dia tak mau menyapaku. Aku jadi semakin bingung. Kini satu-satunya sahabat terbaikku menjauhiku entah apa alasannya. Dan bahayanya, sebentar lagi adalah hari ulang tahunku. Masak sih sweet seventeen tanpa sahabat? Tanpa pacar sih no problem. Tapi kalau tanpa sahabat? Itu merupakan bencana besar melebihi apapun.
Aku udah temenan lama sama Dhea. Dan baru kali ini Dhea diemin aku tanpa sebab. Aku hanya bisa pasrah. Manerima semua keadaan ini lebih baik, daripada mencari jawaban yang tak tahu kapan akan terjawab.

***

Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-17. Aku malas bangun. Aku tahu hari ini akan menjadi hari yang paling menyedihkan seumur hidupku. Tapi kalau aku nggak bangun, berarti aku nggak sekolah. Dan itu semua akan semakin merusak diriku sendiri. Dengan susah payah aku melawan rasa malasku.
Aku berangkat seperti biasa. Tidak terlalu pagi, juga tidak terlalu siang.
Sampai di sekolah, aku merasa ada yang aneh. Tidak seperti biasanya. Aku berjalan begitu lesu menuju kelasku. Dengan malasnya, ku buka pintu kelasku.
JDDEEERRR. Tak ada seorang pun makhluk di dalamnya. Aku jadi semakin bertanya-tanya. Semuanya kemana? Adakah sesuatu yang tidak kuketahui. Aku jadi semakin bingung. Kutundukkan kepalaku diatas meja bangkuku. Tanpa kusadari aku telah meneteskan air mata. Tiba-tiba…
Lagu “Happy Birthday To You” mewarnai kelasku. Teman-temanku datang untuk memberikan ucapan selamat padaku.
Di tengah rasa bahagiaku, masih ada sedikit kesedihan yang menyelimutiku. Tak kulihat wajah Dhea disini. Apakah Dhea benar-benar melupakanku? Apakah dia benar-benar ingin menjauhiku? Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam benakku.
“Rhe, loe nyari Dhea ya? Dia nggak dateng. Katanya mau pergi. Tau deh pergi kemana. Dia hanya nitip ini ke loe.” Ucap salah seorang teman sekelasku yang sepertinya tahu kalau aku lagi nyari Dhea.
Ternyata Dhea beneran nggak dateng. Aku menerima titipan surat dari Dhea dan segera membukanya.

Dear Rhere
Rhe, selamat ulang tahun ya. Maaf gue nggak bisa ngasih apa-apa ke loe. Gue bukan sahabat yang baek buat loe. Gue nggak ada disaat loe butuh. Gue sering marah sama loe tanpa sebab. Gue marahin loe saat terakhir kita bicara. Itu pun loe nggak tahu alasannya. Maaf Rhe, gue nggak bisa jadi yang terbaik buat loe. Saat loe sweet seventeen pun gue nggak bisa dateng dan ngucapin selamat ke loe. Semuanya nggak seperti yang loe bayangin. Saat loe baca surat ini pun mungkin loe udah nggak bisa ngeliat gue. Nggak bisa ketemu gue. Gue udah pergi jauh. Satu hal lagi Rhe, gue sayang sama loe. Loe adalah sahabat terbaik gue. Jangan pernah lupain persahabatan kita. Karena sesungguhnya loe adalah hal terindah yang dikirim Tuhan buat gue, yaitu seorang sahabat yang baik kayak loe. Gue belum pernah nemuin sahabat kayak loe. Terima kasih atas semua yang udah loe kasih buat gue. Berkat loe, gue baru tahu apa itu SAHABAT.
NB: hadiah dari gue ada di café “RESTO”. Gue harap, nanti malem jam 19.00, loe mau dateng.

~DHEA~

Setelah membaca secarik surat dari Dhea, aku menangis sejadi-jadinya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Dhea. Kenapa semuanya jadi kayak gini. Aku jadi lemas. Tak kuat menghadapi semua masalah yang muncul di hari yang seharusnya menjadi hari bahagiaku. Aku terduduk lemas tak berdaya. Teman-temanku tampak khawatir dengan keadaanku. Tiba-tiba kepalaku pusing, pandangan mataku pun semakin terlihat samar. Dan aku pun…

***

Setelah membuka mata, aku baru sadar kalau aku ada di kamarku sendiri. Dan sekarang jam 18.45? tadi di dalam surat dari Dhea tertulis pukul 19.00. Itu berarti masih ada waktu 15 menit untuk sampai kesana.
Derasnya air hujan yang jatuh membasahi seluruh permukaan kulitku, tak sedikit pun membebaniku. Walau harus bercucuran darah sekalipun, aku tak peduli. Aku lakukan semuanya atas nama SAHABAT.
Butuh waktu 30 menit untuk berlari hingga cafe “RESTO”. Aku mencari di setiap sudut ruang, berharap menemukan sesuatu yang dimaksud Dhea. Namun, semuanya sia-sia. Aku menyesal. Semuanya sudah terlambat. Betapa bodohnya aku, menyia-nyiakan kesempatan yang berharga dalam hidupku.
Aku tertunduk. Tak kuat menghadapi semua masalah ini. Aku berbalik. Semuanya berakhir dengan begitu sempurna. Lengkap sudah penderitaanku.
“Semuanya belum berakhir Rhe.” Suara khas Dhea terngiang di telingaku, hingga bisa menengadahkan kepalaku dari ketertundukan atas penyesalanku.
“Dhea?” Aku berteriak sekencang-kencangnya melihat Dhea tiba-tiba ada di depan mataku.
“Loe nangis ya? Sejak kapan loe bisa nangis? Ini kan hari ulang tahun loe Rhe. Masak nangis sih? Sweet seventeen getho?” ledek Dhea.
“Gara-gara loe gue kayak gini.” Seruku.
“Semuanya, PERFECT!!!” Dhea tersenyum penuh kemenangan. “Oh ya, kenalin nih cowok baru gue.” Tambahnya.
“Ara.” Ucap cowok Dhea lirih. Mungkin dia masih sungkan. Atau memang suaranya kayak gitu. Tau deh.
“Andrhea. Tapi biasa di panggil Rhe.” Ujarku.
“Oh ya, gue juga punya hadiah buat loe.” Tukas Dhea. Lantas dia menepukkan kedua tangannya, lalu tiba-tiba muncul seseorang.
“Kak Bian?” teriakku kaget.
“Iya Rhe. Ini aku. Happy Birthday ya. Aku pengen ngomong sesuatu sama kamu. Sebenernya udah lama sih aku pengen ngomongnya. Tapi dilarang terus sama temen kamu tuh si Dhea. Katanya tunggu tanggal mainnya. Semuanya udah di atur sama Bu Sutradara. Termasuk kedekatannya denganku yang bikin kamu cemburu sampe bisa buat kamu berani tanya ke Dhea. Udah lama, jauh sebelum Dhea mendekatiku demi kamu, dan jauh sebelum kamu cerita ke Dhea tentang perasaanmu, aku udah pengen bilang kalau aku sayang sama kamu.” Jelasnya panjang lebar.
Apa? Kak Bian bilang sayang sama aku? Inilah keajaiban dari Tuhan. Semuanya begitu indah pada akhirnya.
“Maaf ya Rhe, nggak bisa ngasih apa-apa. Cuma bisa ngasih ini.” Kak Bian menunjuk ke dadanya yang berarti…
Hatinya? Pikirku.
“Nggak perlu ngasih hadiah apapun. Karena kalian adalah hadiah terindah dalam hidupku.” Ujarku dengan begiru keras.

*** THE END ***

 

Tachika アキラ Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea